Jumat, 21 Oktober 2011

mengapa harus memuja tri murti

Trimurti, Trikona, Triguna Print E-mail
Tattwa – SARAD No. 122 [Juni 2010]
Trimurti, Trikona, Triguna Cara Bali

Kenapa umat Hindu dalam wadah desa pakraman di Bali memuja di pura kahyangan tiga? Benarkah pura kahyangan tiga di setiap desa pakraman dibangun sebagai pendamai sekte-sekte yang saling bertikai pada masa Bali Kuno?

Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Trimurti di Pura Kahyangan Tiga di kalangan umat Hindu di Bali bukan untuk mendamaikan sekte-sekte Hindu yang bertikai. Apalagi dalam konteks sejarah Hindu di Bali tidak ada bukti sejarah sekte-sekte Hindu di Bali pernah rebut. Lebih-lebih pada abad ke-XI Masehi Raja Udayana dengan permaisurinya, Mahendradatta berbeda sekte dan selalu rukun memimpin Bali saat itu.

Musyawarah tokoh-tokoh Hindu di Pura Samuan Tiga itu bukan untuk menyelesaikan sekte-sekte Hindu yang bertengkar. Tujuan Mpu Kuturan menganjurkan pemujaan Tuhan Yang Mahaesa sebagai Trimurti adalah untuk meningkatkan kualitas hidup umat Hindu dengan mengamalkan ajaran Trikona dan Triguna.

Dalam pustaka Bhuwana Kosa III.76 dinyatakan, Tuhan Siwa saat mencipta buwana ini sebagai Dewa Brahma, saat memelihara buwana ini (pangraksa jagat) Tuhan berwuujud Wisnu, dan saat melebur (mrelayaken rat) disebut Rudra. Karena itu Alam Semesta (Buwana Agung) dengan segala isinya ini akan terus menerus mengalami proses utpatti, sthiti, dan pralina. Ada saatnya tercipta, ada saatnya berada di alam ini, dan ada saatnya berakhir.

Proses hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan yang hidup di Buwana Agung ini juga demikian. Manusia dalam harapan hidupnya selalu mengharapkan proses tersebut senantiasa mengarah ke arah positif. Karena itu kitab Purana mengajarkan agar umat Hindu memuja Tuhan sebagai Trimurti agar utpatti, sthiti, dan pralina itu berproses secara positif. Artinya, proses utpatti, sthiti, dan pralina itu berlangsung positif. Positif yang dimaksudkan di sini berarti segala sesuatu tercipta (utpatti) dengan baik, terpelihara (sthiti) sesuai yang sepatutnya terpelihara dan masih relevan dengat dinamika kehidupan. Demikian pula pralina-lah sesuatu yang seyogyanya ter-pralina karena sudah usang, tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik saat ini maupun ke depan.

Pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dalam perwujudan Trimurti sebagai permohonan umat Hindu guna melnotivasi dirinya agar memiliki kemampuan melakukan utpatti, sthiti, dan pralina atas karunia Tuhan. Dengan demikian dinamika hidup ini akan selalu mengarah pada peningkatan yang semakin baik, benar, dan bermakna bagi kehidupan.
Karena pengaruh triguna (sattwam, rajah, tamah) sebagai dasar terbentuknya sifat-sifat manusia, maka proses trikona (utpatti, sthiti, pralina) tersebut pun bisa mengarah ke positif dan juga bisa mengarah ke negatif.

Kalau guna rajah dan tamah membentuk sifar-sifat manusia, maka perubahan ini akan mengarah ke negative. Artinya, hidup manusia itu akan lebih banyak berbuat adharma ketimbang dharma. Pustaka Tattwa Jnyana menyatakan, kalau guna sattwam dan rajah sama-sama kuat menguasai citta atau alam pikiran, maka guna sattwam menyebabkan manusia berniat baik dan guna rajah membuat manusia berbuat baik secara nyata.

Pemujaan Tuhan Yang Mahaesa sebagai pencipta, pemelihara, dan pemralina (utpatti, sthiti, dan pralina) di kalangan umat Hindu, baik di India maupun umat Hindu di Nusantara ini, sudah demikian amat populer. Pemujaan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pemralina disebut pemujaan Trimurti.

Di India semua sampradaya atau sekte memuja Tuhan dalam manifestasi sebagai Trimurti. Tidak ada yang tidak memuja Trimurti. Umat Hindu di Bali pun menetapkan pemujaan Tuhan Yang Mahaesa sebagai Trimurti itu dilakukan di setiap desa pakraman. Pemujaan Trimurti ini dinyatakan dalam pustaka Bhuwana Kosa IV.3. Dalam sistem panteon Hindu, Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa merupakan perwujudan Tuhan Yang Mahaesa dalam fungsi masing-masing sebagai pencipta (Brahma), pemelihara (Wisnu), dan pemralina (Siwa).

Pemujaan Tuhan sebagai Trimurti, di samping sebagai Dewa Trikona, juga sebagai guna awatara. Pemujaan Tuhan Trimurti sebagai guna awatara dinyatakan dalam Matsya Purana 53, 68, dan 69.

Dinyatakan dalam Purana tersebut, Dewa Wisnu atau Dewa Hari sebagai Dewa Guna Sattwam. Dewa Brahma sebagai Dewa Guna Rajah, sedangkan Dewa Siwa sebagai Dewa Guna Tamas. Makna pemujaan Trimurti sebagai guna awatara itu adalah untuk membangun sifat-sifat positif manusia. Memuja Dewa Wisnu agar guna sattwam terlindungi dengan baik, sehingga guna sattwam tetap eksis, menguatkan citta atau alam pikiran membangun sifat-sifat tenang, terkendali, berilmu, bijaksana.

Memuja Dewa Brahma sebagai pengendali guna rajah supaya guna rajah tetap positif memberi semangat dan tenaga pada kehidupan ini.

Adapun pemujaan Dewa Siwa sebagai pengendali guna tamah bertujuan untuk membangun kekuatan agar pengaruh negatif guna tamah mampu dicegah menjadi yang positif. Guna tamah bisa diarahkan ke positif, sehingga enggan atau malas berbuat tidak baik. Malas berbuat tidak baik dan tidak benar— meskipun belum mampu berbuat baik dan benar— masih lebih baik daripada rajin berbuar tidak baik dari tidak benar.
Kalau guna rajah dan tamab berkuasa dalam diri, maka dapat menimbulkan berbagai kejahatan yang amat dinamis dan cerdas. Dengan memuja Dewa Brahma dan Dewa Siwa, maka sifat negatif guna rajah dan tamah dapat diarahkan ke positif. Karena itu, keberadaan pustaka Purana itu bertujuan membimbing manusia mengendalikan triguna masing-masing agar proses utpatti, sthiti, dan pralina menjadi senantiasa positif normatif.

Purana yang berjumlah 18 buah ini dibagi menjadi tiga kelompok. Enam Purana menjadikan Dewa Wisnu sebagai Ista Dewata tertinggi. Purana yang menjadikan Dewa Wisnu sebagai Ista Dewata tertinggi ini disebut Satvika Purana. Enam Purana lagi mendudukkan Dewa Brahma sebagai Ista Dewata tertinggi, dan dinamakan Rajasika Purana. Sisanya, enam Purana lagi, menjadikan Dewa Siwa sebagai Ista Dewata teetinggi, sehingga dinamakan Tamasika Purana.

Purana yang tergolong Satvika Purana masing-masing: Visnu Purana, Narada Purana, Bhavata Purana, Garuda Purana, Varaha Purana, dan Padma Purana. Purana yang tergolong Rajasika Purana, yakni: Erahma Purana, Brahmanda Purana, Brahma Vawarta Purana, Bhavisya Purana, Vamaha Purana, dan Markandeya Pwana. Adapun yang tergolong Tamasika Purana adalah: Siva Purana, Matsya Purana, Karma Purana, Lingga Purana, Skanda Purana, dan Agni Purana. Tiga. kelompok Purana itulah sebagai penuntun urnat manusia yang mendalami Weda untuk mengandalikan triguna yang mencakup sattwam, rajah, dan tamah masing-masing melahirkan karakter satwika, rajasika, dan tamasika.

Satvika, rajasika, dan tamasika inilah yang disebut triguna merupakan pembentuk sifat dasar manusia. Karena itu Dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Siwa) disebut juga Guna Awatara: Tuhan ber-awatara menjadi Dewa Trimurti, yang dipuja umat manusia untuk mengendalikan triguna manusia bersangkutan.

Hidup manusia akan sukses apabila triguna-nya terkendali ke arah spiritual. Dalam ajaran Hindu, ada konsep avatara. Kata ava berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘turun. Sedangkan kata tara berarti ‘menyeberang’.

Ini berarti Tuhan turun menyeberangi ciptaan-Nya. Tuhan yang menjiwai Alam Semesta ini menjadi Purusa Avatara: Parama Siwa menjiwai swah loka; Sadha Siwa menjiwai bhuwah loka; dan Siwa menjiai bhur loka.

Parama Siwa, Sadha Siwa, dan Siwa diiebut Tripurusa atau Tiga Jiwa Alam Semesta. Sedangkan Dewa Trimurti disebut Guna Avatara, dalam arti menjadi kekuatan yang menuntun umat manusia mengendalikan trigunanya. Dewa Wisnu dipuja untuk memeihara dan meindungi guna satwam, Dewa Brahma dipuja untuk mengendalikan guna rajah. Sedangkan Dewa Siwa dipuja untuk mendapatkan kekuatan spiritual mengendalikan guna tamas.

Dengan begitu menjadi jelas, Trimurti merupakan manifestasi Tuhan untuk menguatkan daya spiritualitas, meningkatkan kecerdasan (intelektualitas) dalam rangka mengendalikan kepekaan emosional.

Dewa Trimurti mi merupakan Ista Dewata, yang dipuja, sedangkan tiga kelompok Purana yang telah dipaparkan tadi itu adalah ajaran penuntun umat Hindu dalam rangka mengendalikan triguna. Perubahan utpatti, sthiti, dan pralina akan senantiasa positif apabila dilakukan oleh manusia yang trigunanya terkendali.

Trimurti dipuja buat mendapatkan kekuatan mengamalkan ajaran trikona. Ciri bidup ideal itu: menciptakan (utpatti), memelihara/merawat/menjaga/melindungi (stithi), dan meniadakan (pralina) sesuatu yang sepatutnya diciptakan, dipelihara, dan ditiadakan. Melakukan tiga dinamika hidup mi tidaklah mudah, karena itu dibutuhkan kekuatan spiritual dengan memuja Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa (Rudra) agar ajaran trikona itu dapat diarahkan dengan sebaik-baiknya.

Agar upaya mencipta (utpatti) itu berkualitas, maka dipujalah Dewa Brahma Untuk melakukan upaya pemeliharaan dan perlindungan (stithi) dipujalah Dewa Wisnu. Sedangkan untuk meniadakan (pralina) sesuatu yang seyogyanya dipralina, maka dipujalah Dewa Siwa (Rudra).

Satu ciri utama desa pakraman di Bali adalah adanya pura kahyangan tiga untuk memuja Sang Hyang Trimurti. Ini berarti desa pakraman di Bali sudah jelas dimaksudkan sebagai wadah umat Hindu mengamalkan ajaran trikona dan triguna.

Apalagi dalam lontar Mpu Kuturan dinyatakan: Desa pakraman winangun dening Sang Catur Varna manut linging Sang Hyang Aji (desa pakraman itu dibangun oleh dan untuk Sang Catur Varna berdasarkan ajaran suci).

Ini berarti desa pakraman di Bali dimaksudkan sebagai wadah mendidik dan melatih umat Hindu agar semua memiliki ketrampilan atau profesi (varna) untuk mengamalkan ajaran suci Weda.

Dengan begitu desa pakraman adalah wadah umat Hindu mengamalkan ajaran suci Weda (linging Sang Hyang Aji). Isi Weda itu adalah sanatana dharma atau kebenaran yang kekal abadi. Tetapi, penerapannya adalah nutana, terus menerus ada proses peremajaan agar senantiasa dapat mengantarkan perubahan zaman, sehingga ajaran suci Weda tetap tegak adanya.

Agar perubahan itu tidak asal atau sekadar berubah, maka di setiap desa pakraman—atas anjuran Mpu Kuturan pada abad ke - XI Masehi dibangunlah pura kahyangan tiga sebagai media pemersatu memuja Tuhan dalam manifestasi sebagai Dewa Trimurti dan Guna Awatara.

Dinamika utpatti, sthiti, dan pralina itu sepatutnya dilakukan oleh umat yang triguna-nya telah terkuasai/terkendali dengan baik.

Dengan demikian dinamika perubahan itu akan terus menerus mengarah ke arah yang semakin baik, semakin benar, dan semakin tepat-akurat mengatasi masalah-masalah kehidupan ini dalam segala aspek.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar